Kemarau, Hujan, dan Musim Semi Di Penghujung Tahun
Kurun
waktu sekejap rasanya begitu melekat menggambarkan detailnya rentetan yang
terjadi di penghujung tahun ini. Berbagai peristiwa luar biasa justru lalu
lalang di hadapanku meninggalkan banyak hikmah yang tependam. Entahlah diri ini
rasanya harus senantiasa merendahkan hati menambah rasa syukur yang tiada
henti. Engkau yang mengindahkan setiap langkah yang hamba lalui hingga hamba
tak kuasa untuk berkata tidak. Sekejap hamba terlena, namun dengan tegas
sedetikpun engkau tak pernah membiarkan hamba terlena akan kenyamanan yang bisa
saja membius hamba. Sayup sepoi angin memang kian teduh, bahkan burung ikut
bersenandung dalam rerintik hujan sekalipun. Semangat yang masih saja
fluktuatif ini kian bergelayut berupaya menahan diri untuk berlari lebih
kencang. Tuhan, namun hamba tak tau mengapa rasanya usia ini tak akan lama.
Bayang sendu akan rumah terakhir itu seolah nampak begitu nyata terlihat.
Bahkan hampir tiap waktu hamba terkadang terdiam dan mengingatnya.
Netra yang kian sayu, raga yang kian melemah
Tak kuasa menembus ruang dan waktu yang masih
terlihat panjang
Tangan dan kaki rasanya semakin lunglai
Bingkai kalbu tak jua membungkus bintang kejora
Bulan bintang hanya sesekali berkedip, lalu padam
Hanya tersedu menyisakan sembilu
Matahari
akhir-akhir ini sering tersenyum terlebih dahulu, bahkan mendahului senyumku
yang seharusnya merekah sejak petang. Aku tak paham dan bahkan terus bertanya,
kemanakah jiwa yang bersemangat itu?. Hari-hari seolah terlewat begitu saja
tanpa karya besar yang berarti. Semangat yang berkobar rasanya hanya sepintas
seperti kembang api yang meyala indah lalu padam hanya meninggalkan abu. Aku
sebenarnya menyadari bahwa ini adalah keburukan yang tak pantas untuk ku
teruskan. Kemalasan yang bergelayutan seolah menghambat semua karya yang
harusnya sudah ku tuliskan. Tinta emas sudah menunggu, namun masih saja tinta
merah yang aku pilih untuk menulis.
“Ini salah dan ini keliru, Tuhan ampuni
hamba,”
Kalimat ini seringkali menghantui diri ini. Namun Tuhan tak begitu saja diam
mebiarkan hamba-Nya yang larut dalam kemalasan, kepasrahan, bahkan ketidak
teraturan hidup. Allah membangunkan hamba-Nya dari penyakit malas dengan banyak
cara yang teramat hebat. Kali ini kejutan besar beliau datangkan pagi-pagi
melalui pesan singkat yang dikirimkan dosen untuk membantu beliau melaksanakan
“Pengabdian Masyarakat 2014”. Semangat yang mulai redup akhirnya dapat menyala
kembali seperti padang pasir yang tiba-tiba berubah menjadi oase. Laksana
kemarau panjang yang tiba-tiba turun hujan deras dan membasahi semua tanah yang
kering kerontang. Persiapan yang mendadak, namun semuanya dapat terselesaikan
hingga kami dapat berangkat menuju lokasi pengabdian tengah malam dan sampai di
sana pagi buta.
Usai Pengabdian,
segera kami bergegas kembali ke Kota Malang, karena esok hari Ujian Akhir
Semester (UAS) akan dimulai. Dalam perjalanan menuju ke Malang, suatu
kehormatan dosen ku bisa sejenak meluangkan waktu untuk singgah dan
bersilaturahmi kerumah ku dan berbincang dengan ibu di rumah. Sampai di kota
Malang dengan sisa-sisa energi yang harus tetap menyala aku harus mempersiapkan
untuk ujian esok hari hingga tengah malam. Inilah wujud nyata cara Allah yang
tak membiarkan hamba-Nya terlalu lama terlena akan kenyamanan dunia. Satu
minggu penuh terlewati untuk pelaksanaan Ujian Akhir Semester (UAS). Pada hari
terakhir, setelah selesai mengerjakan ujian ternyata ada seorang dosen yang
mengajak ku untuk menyelesaikan laporan penelitian beliau. Alhamdulillah rezeki
lagi, dan lagi-lagi inilah jalan Allah yang betul-betul indah. Inilah rute-rute
Allah yang membuat salah satu angka dari deretan mimpi ku yang terpasang
dikamar dapat tercentang.
Puji syukur rasanya tiada henti ku
panjatkan kepada Allah atas segala bentuk kemudahan yang dihadirkan. Akhirnya
pelkasanaan ujian akhir telah berakhir dan proyek membantu dosen juga tuntas
terlaksana. Kini paket liburan sebagai hadiah dari Tuhan juga datang beruntun
padaku. Pasca ujian berkahir, seharian penuh selam 12 jam aku dapat menikmati
waktu bersama seorang sahabat, carica namanya untuk berkeliling menyusuri
indahnya kota Malang. Dengan rintik hujan yang mengiringi perjalan, semua
tempat yang telah masuk daftar list dapat kami kunjungi dan memberikan kesan
yang berwarna-warni seperti gulali. Ya, begitulah yang kami alami, mulai dari
dikejar-kejar satapam karena mencuri-curi waktu dan lokasi untuk sekedar
mengabadikan momen bersama di kompleks perumahan mewah sambil bersholawat,
bersenandung, dan berkhayal suatu saat dapat memiliki hunian yang seperti ini.
Mungkin ini gila bahkan sebagian orang tersenyum mendengar hal ini yang
terkadang dianggap konyol. Tetapi sekali lagi, ini adalah bagian dari deretan
mimpi yang harus tercentang. aku hanya berusaha mengamalkan apa yang aku dapat.
Hal ini adalah salah satu yang diajarkan Ustadz Yusuf mansyur ketika
bertausiyah dan ini benar-benar aku lakukan. Selepas dikejar-kejar satpam, kami
menuju lokasi lain untuk kembali mengabadikan momen bersama tepatnya disebuah
wisma yang dulunya rumah belanda. Eh, ternyata banyak fotografer yang sedang
mengambil foto di sana dengan model masing-masing. Termasuk aku dengan teman
yang masih seperti anak bawang dan iseng-iseng saja hunting foto di sana.
Tetapi tanpa di duga kami berkenalan dengan salah satu fotografer dan ditawari
jadi model hijab, dan aku hanya menyambut dengan senyum. “Mari kita tunggu kelanjutan kisahnya saja,” ujarku dalam hati,
sambil tertawa sendiri.
Adzan Asyar telah berkumandang
diberbagai penjuru, saatnya semua umat muslim menuju kerumah Allah yang begitu
mulia. Rintik hujan semakin deras, bahkan tak jua reda sampai aku selesai
melaksanakan sholat. Akhirnya kami memutuskan untuk menunggu adzan maghrib di
masjid tersebut baru kemudian melanjutkan perjalanan. Entahlah ini kebetulan
ataukah sudah berjalan berdasarkan takdir Tuhan. Adzan maghrib akan
berkumandang sekitar 45 menit lagi, dan waktu yang luas ini membuat ku berdiri
dari tempat duduk lalu mengambil sebuah al-qur’an yang terletak disebuah rak.
Sedang aku membaca Kalimatullah, ayat-ayat Allah yang teramat suci dan Maha
Agung carica menggambar peta perjalan yang kami lakukan sejak pagi tadi. Tiada
terasa, tepat beberapa menit sebelum adzan maghrib berkumandang puji syukur
saya panjatkan kembali dengan penuh syukur tiada henti. “One Day, One Juz. On A Day For Future,” itulah tema yang mungkin
sangat cocok menggambarkan perjalanan hari ini. Satu juz telah terlewati,
Alhamdulillah usai menjalankan kewajiban kami, hujanpun reda dan kami dapat
melanjutkan perjalanan hingga semua daftar lokasi yang dikunjungi telah
lengkap. Tiket perjalanan dari Allah tak berhenti sampai disitu saja, bahkan
Allah menghadiahkan banyak hal yang tak kuasa ku tuliskan karena keterbatasan
kata. Yang jelas semuanya telah Allah takdirkan dengan indah, insan yang bijakpun
tidak akan serta merta dapat memaknai semua yang terjadi.
Tepat
pada hari senin, 22 Desember 2014 adalah “Mother’s
Day”. Aku memang belum bisa
pulang kerumah dan belum bisa mencium tangan, memeluk, dan bersimpuh di syurga
yang indah yang dimiliki ibu. Namun dengan berucap lirih melalui telefon, aku
hanya berharap itu bisa mewakili diri ini yang belum bisa kembali ke rumah.
Setiap tulisan mungkin terbatas akan karakter dan suku kata, setiap masa
mungkin terbatas akan suatu hal yang disebut waktu. Setiap jiwa memiliki
keterbatasan akan yang disebut takdir, dan setiap apa yang kita lakukan pasti
ada batasan yang disebut jalan Tuhan. Namun Tuhan tak pernah sedetikpun jengah,
lelah, bahkan lengah mengawasi hamba-Nya. Tuhan tak pernah sebentar saja
menyingkir, namun Tuhan sebenarnya kian mendekat dalam hati, jiwa, raga, dan
bahkan setiap denyut nadi, detak jantung, dan derpa langkah yang terkadang
terseok.
Jiwa yang terdiam tekadang memaknai
Saduran yang indah terkadang tak dapat mewakili
Syukur itu harusnya tiada henti
Bulan seharusnya memang tak pernah lelah bersinar
dalam kelam
Bintang seharusnya tak pernah bersembunyi di balik
pekat malam
Hari
itu, aku harus menyusul kawan-kawan pengurus HMJ yang masih berlibur di villa.
Setibanya di villa, kawan-kawanku sedang asyik menonton film di ruang tengah
hingga sebagian dari mereka tidak menyadari bahwa ada penghuni baru yang
datang, yaitu aku. “Hehehe, maklum saja
mungkin mereka sedang seru-serunya nonton,” pikir ku. Seperti biasanya,
disetiap acara aku lebih senang berada di dapur berkutat dengan asap masakan
dan bermain dengan bumbu-bumbu di sana. Selepas adzan maghrib berkumandang
semua penghuni villa segera melaksanakan ibadah sholat maghrib. Sesuai jadwal,
kami akan bersenang-senang di sebuah tempat wisata hingga pukul 21.30 WIB.
Namun, belum juga melewati waktu yang disepakati, aku sudah kembali ke villa
dan menyiapkan untuk acara selanjutnya yakni bakar jagung dan ubi. Inilah wujud
kebersamaan, selama satu kepengurusan kami belajar bagaimana menjadi “Super Team”. Belajar memaknai satu
persatu arti kebersamaan, kekeluargaan, tanpa terlupa semuanya berbalut
keprofesionalan dalam bekerja.
Selasa,
23 Desember 2014 adalah hari terakhir kami berada di villa dan menjadi hari
terakhir pula aku berada di bumi arema untuk selanjutnya aku pulang kerumah
melepas rindu dengan keluarga tercinta. Namun rencana tinggalah rencana,
manusia hanya bisa memperkirakan jadwal yang akan dilaksanakan. Tetapi pada
akhirnya semua akan kembali kepada takdir Tuhan. Usai memasak dan mempersiapkan
makan siang bersama kawan-kawan yang lain, tiba-tiba aku memperoleh kabar bahwa
nenek dari seorang sahabatku yang hari jum’at lalu aku jenguk di sebuah rumah
sakit telah meninggal dunia. Seraya senyuman ku tiba-tiba sirna, semua rasanya
membeku dan tak terdengar apapun lagi. Yang berputar dalam pikiran ini adalah
bagaimana agar aku secepatnya bisa ta’ziyah, bahkan aku tak berpikir lagi untuk
pulang hari itu. Ya, renacanaku untuk pulang harus tertunda dan bagiku itu tak
masalah. Satu keinginanku hanya untuk segera berada di samping sahabatku yang
tentunya sedang bersedih. Aku segera bergegas untuk pulang ke kos dan
selanjutnya bersiap untuk ta’ziyah. Tetapi mungkin benar, bahwa fisik ini punya
keterbatasan dan raga memiliki hak untuk mengeluh lagi. Sepanjang jalan aku
hanya berdoa bisa sampai di tempat kos dengan selamat karena mata yang semakin
sayu untuk menatap keramaian jalan raya. Konsentrasi kian terpecah, aku hanya
bisa berdoa dan berupaya untuk tetap sampai di tempat kos. Sesampainya di kamar
kos aku tak kuasa untuk langsung melanjutkan perjalanan, akhirnya aku
memutuskan untuk mengistirahatkan diri sebentar.
Bangun tidur,
aku segera bersiap untuk berangkat. Dengan kepala yang sedikit pening, aku
berangkat dengan berpayung awan yang mulai mendung. Aku bahkan sempat berseteru
dengan carica yang bersamaku sambil menyusuri jalan karena suatu hal dan
kondisi yang mungkin sedang tertekan. Awan mulai menangis, menurunkan air
matanya bersama air mataku yang juga ikut turun dengan derasnya. Sambil
berusaha menutup telinga dari teriakan carica yang memaksaku untuk berhenti agar
aku mau memakai jas hujan. Tapi seolah tak menghiraukannya aku terus melaju
menembus hujan dan semakin cepat memacu gas sepeda motor. Entahlah, aku sudah
tak memikirkan perihal sakit, flu, atau apapun yang mungkin saja bisa
mneyerangku karena hujan. Rasanya hatiku sudah kian menjerit dan ingin cepat
sampai. Tetapi aku bersyukur, hati ini masih dilunakkkan dan akhirnya aku
berhenti, sepeda motor caica dititipkan dan akhirnya kami berboncengan. Itulah
kawan, itulah sahabat, peredam dikala amarah sedang membuncah sekaligus
penghapus air mata ketika sedih itu datang mendera.
Perjalanan kami semakin tak biasa,
jalan yang kami lewati ternyata keliru, dan kami harus melewati jalan yang
dikatakan banyak orang lumayan menakutkan. Tetapi itulah carica, walaupun
banyak yang berkata negatif tetapi jiwanya semakin tertantang untuk menaklukan
jalan itu. Syukurlah, akhirnya kami sampai di jalan besar dan kembali
melanjutkan perjalanan menyusuri jalan raya. Maklumlah kami belum pernah
berkujung kesana sebelumnya. Kami harus kembali bertanya kepada orang-orang
sekitar, ternyata kami harus putar balik. Semakin jauh rasanya kami putar balik
tak kunjung kami mnemukan rumah almarhumah. Aku merasakan ada yang berbeda dari
motorku.
“nggak ada apa-apa te, itu tadi karena jalan nggak
rata jadi rasanya motornya begini,” jawab carica. Aku semakin merasa ada
yang aneh, dan aku meminta carica berhenti. Ternyata benar, ban motornya
ternyata bocor mungkin karena terlalu banyak masuk lubang yang tertutupi air
hujan.
Aku hanya bisa
menangis, rasanya hari itu kami sangat apes. Perjalanan jauh tak kunjung sampai
malah ban motor bocor. “Oh tidak, jam
berapa aku sampai kalau keadaannya seperti ini?,” tanyaku dalam hati sambil
terus menangis. Untungnya dan yang sangat aku syukuri adalah kami berhenti
tepat di depan tukang tambal ban. Takdir Allah memang lebih indah dari
segalanya, dan segalanya memang benar telah di atur dan kita harus menjalankan
sebaik-baiknya. Usai ban motor selesai ditambal kami segera melanjutkan
perjalanan dengan lebih teliti mengamati kanan kiri jalan mencari bendera
penanda rumah yang kami tuju. Akhirnya kami sampai dirumah almarhumah dan
bertemu sahabat kami. Oh ternyata, rumah ini sudah kami lewati sebanyak tiga
kali. Entah apa yang membuat kami belum jua menyadari dan menemukan rumah ini
sebelumnya. Tetapi kenbali kami bersyukur, andaikan kami menemukan rumah ini
dengan mudah, dan segala yang kami lewati petang ini tak terjadi mungkin
kisahnya tak akan seru seperti ini.
Esok hari, waktunya aku kembali
pulang ke Tulungagung setelah kemarin tertunda. Aku menyusuri jalanan di bawah
terik matahari yang tersenyum cerah siang ini. Aku dirumah hanya sehari
semalam, karena tiket kereta perjalanan ke Surabaya untuk mengikuti acara
keluarga di sana sudah tersedia dan recananya aku akan kembali kerumah pada
hari senin. Tiada terasa sudah beberapa hari aku berada dirumah kakak di Surabaya
hingga tak terasa sudah hari Minggu, 28 Desember 2014.
“Hari-hari itu aku merasa memiliki keluarga yang
sempurna, melihat bapak, ibu, kakak-kakak ku, sepupu, dan keponakan berkumpul
bersama. Walaupun aku hanya terdiam mematung di ruangan ini, tetapi setidaknya
aku merasa memiliki keluarga yang lengkap hari-hari ini. Hanya bisa tersenyum
dan menangis di dalam hati saja. Berpura-pura sibuk dengan urusan ku sendiri.
Padahal tanpa mereka tahu sebenarnya aku sedang menyimpan segudang rasa yang
tak perlu diungkapkan kepada mereka,” ujarku dalam hati sambil menyaksikan
keakraban canda tawa diruang itu.
Iya, begitulah
adanya dan takdir yang harus kami jalani. Aku dan bapak memang tinggal terpisah
karena keputusan bapak dan ibu untuk tidak bersama sejak aku masih bayi. Aku
dan bapak terpisahkan oleh jarak Tulungagung-Surabaya. Dan jarak diantara kami
terasa semakin luas karena komunikasi yang sangat minim diantara kami. Inilah
pembelajaran yang datang seperti hujan mutiara bagiku. Aku semakin didewasakan
oleh keadaan yang tak biasa dan didikan yang luar biasa oleh takdir Yang Maha
Kuasa, Allah SWT. Aku hanya berharap bisa berbagi cerita dengan anak-anak sesama
broken home bahwa hidup tak berhenti dititik itu. Keluarga
yang tak utuh bukanlah penghalang untuk terus maju meraih mimpi. Kasih sayang
yang mungkin saja timpang bukan lagi alasan untuk menjadikan diri ini membabi
buta menuangkan semua kekesalan kepada lembah hitam yang sewaktu-waktu dapat
menjerumuskan kita. Aku juga ingin belajar bersama anak-anak yang memiliki
keluarga lengkap akan makna kesyukuran diberi nikmat kelengkapan kasih sayang
dan arti memiliki keluarga.
Dalam
hangatnya Susana diruang itu, aku mendengar handphone ibu berbunyi, dan ibu
bergegas mengambilnya. Namun ternyata sudah terlambat, panggilan masuk itu
sudah dimatikan. Panggilan itu dari nomor yang tidak dikenali oleh ibu, kami
kira itu adalah panggilan dari bunda (panggilanku kepada adik ibu) yang
merantau di luar negeri. Selang beberapa detik kemudian handphone kakak ku juga
berbunyi dan bergegas diambil, ternyata itu adalah panggilan dari adik ibu yang
beada di rumah Tulungagung. Segera kakak ku memberikan telefon itu kepada ibu.
“Innalillahi wa innailaihi roji’un,” hanya kata itu
yang terlontar dari ibu setelah mengangkat telefon.
“siapa yang meninggal,” tanya kakak ku
dengan sigap.
“kakek mungkin,” kataku dengan spontan seperti
aku sudah memperoleh petunjuk dan tak menyebutkan opsi yang lain. Ternyata
benar yang ku ucapkan, kakek ku tercinta telah berpulang. Beliau meninggalkan
aku sebelum aku memandikan, menyuapi, bahkan merawatanya kembali. Aku sudah
beberapa minggu tak bertemu kakek yang berada di kamar belakang di rumah adik
ibu. Aku hanya mendengar cerita tentang kondisi dan keadaan beliau dari ibu
yang setiap hari merawat beliau. Aku semakin menyesal ketika aku teringat bahwa
aku belum menengok beliau ketika aku berada dirumah sehari semalam. Sekarang,
semuanya sudah terlambat dan perjalanan secepat apapun tak mungkin membawa ku
secepat kilat sampai dirumah. Aku dan seisi rumah segera bangkit dari tempat
duduk, tanpa berpikir panjang kami segera memasukkan semua keperluan ke dalam
tas yanga akan di bawa ke Tulungagung. Bersama air mata yang menetes semua
barang bawaan segera disiapkan. Kami teringat bahwa salah seorang keponakan ku belum
pulang dan masih bermain di luar rumah. Sambil terus menghubungi anaknya, kakak
ku bermaksud menunggu anaknya pulang baru kemudian kami berangkat. Tetapi
tangisan ku kian menjadi dan tak dapat ku tahan lagi. Mungkin tak tega
mendengarkan aku, kakak iparku segera mengajak berangkat dan memutuskan untuk
menitipkan anaknya yang belum datang kepada saudara disana.
Rabb..
Sungguh semua yang hamba miliki di dunia adalah milik-Mu
Maka
jangan biarkan hamba mengingkari apa yang sejatinya akan kembali kepada-Mu
Sejatinya
semua akan kembali ke pangkuan-Mu
Hamba
tak boleh sedikitpun berkilah
Justru
sesungguhnya hamba amatlah dekat dengan kesyukuran
Sepanjang
jalan aku merenungi rentetan peristiwa yang terjadi. Rasanya segalanya telah
begitu indah dirangkaikan Tuhan untuk hamba-Nya yang penuh akan derasnya hujan
dosa. Sembari mobil terus menembus keramaian kota, bulir air mata tiada henti
berjatuhan membasahi wajah yang kian sendu dan sembab. Mungkin inilah yang
disebut dengan petir di siang bolong, benar aku merasakan. Rasanya memang
menggelegar, sekejap membekukan suasana. Aku terdiam dari tangis karena tertidur
di dalam mobil yang terus melaju.
Ketika aku
terbangun, aku berharap semua yang terjadi hanyalah mimpi yang sekejap hilang
dan lantas pergi beriringan dengan terbukanya kedua kelopak mata ini. Sungguh
pedih, ternyata aku masih saja berada di dalam mobil yang sama yang membawaku
melaju kencang menyusuri jalanan dan masih dengan tujuan yang sama. Aku hanya
bisa diam, bepura-pura tak lagi menangis dalam keramaian, hanya terdiam dan
menyimpan sebongkah pengharapan yang rasanya sulit untuk tercapai. Ya,
sederhana mungkin tetapi rasanya sudah tak mungkin., jarak tempuh
Surabaya-tulungagung kurang lebih memakan waktu 4-5 jam tak akan sanggup
dipercepat walaupun aku berharap keajaiabn datang, jarak ini diperpendek atau
mobil ini melesat secepat kilat. Terlalu konyol, hanya saja inilah mimpi
seorang cucu yang ingin bertemu sang kakek untuk terakhir kalinya. Kakek yang
mengajarkan betapa kerasnya hidup. Mengajarkan makna iya adalah iya, dana tidak
adalah tidak. Tak ada jawaban selain itu karena sebuah arti ketegasan walaupun
terkadang hal itu sangatlah keras dan terkesan menutup telinga akan pendapat
orang. Tetapi itulah berlian yang mungkin tak dapat ku temui di tempat lain di
lapisan dunia bagian manapun. Jiwa keras dan tahan banting tanpa disadari
sedikit demi sedikit telah melekat, seperti sosok bapak yang kesekian yang hadir
melengkapi hidup ku. Iya, beliau seperti pengganti bapak walaupun aku tahu
bahwa sosok bapak tak akan terganti oleh siapapun di dunia fana ini. Namun
begitu, aku juga tak dapat memungkiri bahwa kakek seringkali menjadi orang
kedua setelah ibu sebagai tempatku bersimpuh setiap hari kemenangan yakni hari
raya idul fitri tiba. Entah tahun-tahun berikutnya siapa yang akan menggantikan
posisi itu sungguh belum terbayang sama sekali dalam benakku yang masih saja
kalut. Aku terus berusaha bersabar untuk sampai di rumah, walaupun aku tahu
akau sudah tidak bisa melihat kakek ku lagi.
“jika nanti aku tidak bisa bertemu kakek, boleh ya
bu besok aku ke makam beliau,” pintaku lirih kepada ibu. Beliau yang
memahami kepedihanku langsung mengiyakan permintaanku. Benar saja, setibanya
dirumah suasana sudah lengang. Walaupun masih terus berdatangan orang-orang
yang berta’ziyah. Aku masih belum percaya bahwa ini adalah nyata.
Hingga tengah malam aku masih saja
merenungi hari-hari yang sudah terjadi. Menyibak kembali hari-hariku selama di
Malang hingga detik ini aku kehilangan kakek ku. Seperti sebuah kaledioskop
2014, tahun ini rentetan yang terjadi begitu tertata rapi terbungkus takdir
Ilahi. Plakat kemenangan ku bersama sahabat-sahabatku memenangkan sebuah
kompetisi masih terpajang rapi di sudut kamar kos. Firasat mengenai usia yang
tak tahu hingga kapan diberi kesempatan membuka mata kembali, hingga kecelakaan
yang sempat ku alami rasanya merupakan pelajaran yang teramat berharga. Paket
liburan yang dihadiahkan Allah dengan beruntun, dan pil pahit yang harus ku
telan karena meninggalnya kakek rasanya begitu jelas masih tergambar dalam
ingatanku. Tiada guna kini ku sesali kembali apa yang sudah terjadi. Karena
jauh dari segalanya, yang menjadi bagian terpenting adalah bagaimana caraku
memaknai hidup yang terus menerus bergulir beriringan dengan waktu yang tiada
henti mengukir kenangan. Do’a yang mengalir rasanya lebih layak dan jauh lebih
pantas untuk ku hadiahkan kepada kakek sebagai wujud kasih sayangku. Walaupun sekarang
aku hanya memiliki kuasa untuk mengelus dan mencium batu nisan beliau, tetapi
bagiku ketenangan beliau di sisi-Nya adalah anugerah yang tak tertandingi oleh
apapun. Aku bersyukur Allah masih memberi ku kesempatan untuk membuka mata
disetiap pagi ku. Menyaksikan mentari yang tersenyum dengan hangatnya. Kini aku
mngerti bahwa Allah sengaja mengatur segalanya untukku dengan sangat baik,
mungkin aku harus berlatih lebih peka akan setiap hal yang aku rasa. Satu lagi
hkmah besar dari seluruh rentetan kisah ini adalah datangnya bapak kembali ke rumah
Tulungagung setelah sekian lama kurang lebih 19 tahun beliau tak pernah
berkunjung kemari, Subhanallah.
Malam pergantian tahun akan segera
datang esok hari, tetapi mungkin akan jauh berbeda. Pergantian tahun kali ini
tak ada gegap gempita suara terompet dan kembang api yang merekah indah
dilangit lepas. Malam pergantian tahun kali ini adalah wahana untuk bertafakur,
mendengarkan setiap Kalimatullah yang setiap malam selama tujuh hari ini
insyaallah berkumandang di rumah. Mengiringi kepergian kakek kami tercinta
menuju kehadirat-Nya. Mungkin inilah ladang renungan yang dipersiapkan oleh
Tuhan untuk menjadikan kami semakin bijak dalam memandang hakikat kehidupan.
Semua milik-Nya, dan kepada-Nya segalanya akan kembali. Sempat merasakan
keringnya iman seperti kemarau panjang, derasnya derai air mata yang turun bak
hujan yang membasahi bumi, hingga upaya bangkit dari sebuah keterpurukan
laksana bunga sakura yang kembali merekah di musim semi penghujung tahun mungkin
telah terlewati. Namun kehidupan sejati tak akan pernah berhenti. Manusia yang
tangguh adalah ia yang dapat melewati segalanya dengan tetap belajar tentang
apa yang disebut ikhlas, Sabar, dan tawakal. Hingga suatu hari seluruh mimpi
akan tercentang, orang tua akan tersenyum, sekitar akan merasa bahagia, dan
semesta akan menyambut dengan sayup sang bayu yang kian menyegarkan takdir yang
teramat indah. Hidup akan terus berjalan, sang waktu akan selalu berputar, pagi
berganti siang dan siang berganti malam, serta malam kembali berganti pagi.
Semangat harusnya tak pernah padam, rentetan mimpi harusnya tak pernah berhenti
dikejar, semua lembaran lama telah tercatat dan tertumpuk rapi di atas rak
untuk kapan saja bisa di ambil dan dibuka kembali untuk dijadikan pelajaran
atau bahkan referensi menatap hidup ke depan. Namun, lembaran berisi deretan
mimpi selanjutnya juga telah siap terpampang rapi. Menunggu ikhtiar dan doa
yang tiada henti untuk mencapainya.
Sedari dulu hakikat kehidupan hanya Engkau yang Maha
Mengetahui
Insan-insan tempat khilaf dan dosa bermuara
Terkadang tak terjaga oleh lapisan iman
Terkadang terkikis hilang lenyap seketika teriris
Bila segalanya milik-Mu
Hakikat akan menjadi hakikat
Tak terbantahkan, tak terelekkan sedetikpun
Sepintas lewat lalu lalang tak terbayang
Keabadian sebuah hikmah tak jua akan
terhapuskan
karena itulah yang disebut sebuah
keniscayaan
Salam Penulis J
Selasa, 30 Desember 2014
Tulungagung 23:41 WIB
BIODATA PENULIS
Nama Panggilan : Ulfa
Nama Lengkap : Ulfa Romlah
Tempat, Tanggal Lahir : Tulungagung, 14 Juli 1994
Alamat :
- Jl. Dewi Sartika Dusun Klaten Rt 3/Rw 5
Desa
Tegalrejo, Kecamatan Rejotangan,
Kabupaten
Tulungagung
-
Jl. Mayjend
Panjaitan No. 53 Gang V, Malang
Nomor Handphone : 085736752744
PIN BB :
7F49A9A5
Akun Facebook : Ulfa Romlah
Blog :
http://ulfaromlah14.blogspot.com/
Assalamu’alaikum
wr.wb.
Tarian jemari ini tak akan pernah
bermakna tatkala apa yang tertuang di dalamnya sama sekali tak bermanfaat bagi
sesama. Saya berharap karya kecil ini dapat memberikan inspirasi dan memberikan
manfaat bagi semua pihak. Hakikatnya hidup adalah sebuah ladang pembelajaran
yang tiada habisnya dapat dipetik hikmahnya yang terkadang tersembunyi. Begitu
pula hidup yang saya jalani, rasanya keseluruhan dari hidup yang dihadiahkan
Allah harus selayaknya saya syukuri tanpa terkecuali. Sebuah karya tak akan
pernah muncul kepermukaan jika tak ada yang memberikan stimulusnya, saya
percaya itu. Karena sebuah karya besar sering kali terilhami dari berbagai
kisah yang melatar belakangi. Hampir seluruhnya saya tulis dan tercatat serapi
mungkin di sini, agar suatu hari mungkin anak cucu saya bisa membacanya
kembali. Sungguh saya hanya ingin berbagi, menebarkan kisah-kisah yang sekali
lagi saya harap dapat menginspirasi kita semua. Memetik hikmah, menuai
pembelajaran, dan mengantonginya sebagai bekal untuk terus hidup ke depan.
Menggapai dan meraih semua mimpi dan impian.
Seluruh karya yang mungkin pernah
saya tuliskan tak lepas dari barisan orang-orang hebat yang berjajar mendidik,
membimbing, dan mengarahkan saya. Serta tak henti-hentinya mencurahkan
inspirasi yang tiada pernah habisnya. Puji syukur saya panjatkan kepada
Pencipta dan Pemilik jiwa dan raga ini Yang Maha Hakiki, Kekal, lagi Abadi,
yakni Allah Aza Wa Jalla yang selalu mengizinkan netra ini terbuka kembali
disetiap pagi. Baginda Rasulullah Muhammad SAW, yang sennatiasa menjadi panutan
dan suri tauladan bagi umatnya. Terimakasih yang tiada terukur kepada Ibunda
tercinta, Bapak, Bunda di perantauan, kakak-kakak, adik-adik, sahabat semua
yang selalu menjadi sumber inspirasi disetiap tulisan saya. Menjadi api
penyemangat yang setiap saat siap berkobar, dan memberikan pundak disetiap raga
ini memerlukan sandaran dan ruang untuk berbagi.
Teristimewa untuk karya ini, terimakasih
kepada kakek tercinta, semoga engkau tenang berada di sisi-Nya. Terimakasih
telah ikut serta memberikan warna-warni dalam alur cerita cucu mu ini. Semoga
doa-doa yang kami panjatkan sampai kepadamu di sana. We Love You So Much..
Wassalamu’alaikum
wr.wb.
Salam Penulis J
Rabu, 31 Desember 2014
Tulungagung 00:24 WIB